Waktu Terlarang Shalat dan Jenisnya yang Dilarang

Bismillah…

عن أَبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيّ ، قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” لَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ “.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata:

“Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

‘Tidak ada salat setelah shalat Shubuh hingga matahari meninggi, dan tidak ada shalat setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam.'”

[HR. Bukhari dan Muslim]¹

عن عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ الْجُهَنِيَّ يَقُولُ: ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ.

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani, ia berkata:

“Rasulullah ﷺ melarang kami untuk shalat atau menguburkan jenazah kami pada tiga waktu; ketika matahari terbit hingga meninggi, ketika berada tepat di atas (di puncak langit) hingga sedikit condong ke barat, dan ketika mulai condong untuk tenggelam hingga benar-benar tenggelam.”

[HR. Muslim]²

Prof. Zhahir bin Fakhri dalam kitabnya Al-Jadawil Al-Fiqhiyyah menyatakan bahwa ada 5 waktu dilarang shalat, yaitu:

  1. Setelah shubuh hingga matahari terbit.
  2. Ketika matahari terbit. Setelah matahari meninggi setinggi tombak(sekitar 15-20 menit setelah terbit sesuai hadits riwayat Ahmad)³ baru boleh shalat.
  3. Ketika terbenam matahari. setelah terbenam matahari baru boleh shalat.

Ketiga pendapat di atas disepakati para ulama.

  1. Setelah Ashar, jumhur ulama melarangnya dan inilah pendapat yang paling kuat.
  2. Ketika matahari berada tepat di atas (di puncak langit) hingga sedikit condong ke barat. Ketika sudah condong ke barat sudah boleh shalat. Ada 3 pendapat ulama mengenai waktu larangan ini.
  1. Waktu tersebut bukan waktu larangan. Ini adalah pendapat Malikiyyah.
  2. Waktu tersebut merupakan larangan. Ini adalah pendapat Hanafiyyah dan Hanabilah.
  3. Waktu tersebut merupakan larangan, namun dikecualikan di hari Jumat dibolehkan karena ada sebuah atsar,

عَنْ ثَعْلَبَةَ بْنِ أَبِي مَالِكٍ الْقُرَظِيِّ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُمْ كَانُوا فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يُصَلُّونَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ حَتَّى يَخْرُجَ عُمَرُ، فَإِذَا خَرَجَ عُمَرُ، وَجَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ، وَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُونَ، قَالَ ثَعْلَبَةُ: جَلَسْنَا نَتَحَدَّثُ، فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُونَ وَقَامَ عُمَرُ يَخْطُبُ أَنْصَتْنَا، فَلَمْ يَتَكَلَّمْ مِنَّا أَحَدٌ. قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: فَخُرُوجُ الْإِمَامِ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ، وَكَلَامُهُ يَقْطَعُ الْكَلَامَ.

Dari Tsa’labah bin Abi Malik Al-Qurazhi, ia memberitahu bahwa pada masa Umar bin Khattab, mereka biasa melaksanakan shalat pada hari Jum’at hingga Umar keluar. Ketika Umar keluar dan duduk di mimbar, lalu para muadzin mengumandangkan adzan, Tsa’labah berkata:

“Kami duduk berbincang-bincang. Ketika muadzin selesai adzan dan Umar berdiri untuk berkhutbah, kami diam dan tidak ada seorang pun dari kami yang berbicara.”

Ibnu Syihab berkata: “Keluar imam (untuk khutbah) memutuskan shalat, dan khutbahnya memutuskan pembicaraan.”

[Atsar diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwattha’]⁴

Dalam atsar diatas dijelaskan bahwa shalat sunnah mutlak tidak masalah dilakukan sekalipun ketika matahari tepat di atas kepala(beberapa saat sebelum waktu shalat Jum’at) hingga imam menaiki mimbar.

Lalu shalat apa saja yang dilarang di waktu terlarang?

Pendapat inilah yang insyaallah paling rajih karena mengkompromikan dan mengamalkan tiap dalil.
Ulama sepakat bahwa shalat sunnah mutlak(tapa sebab tertentu) dilarang. Termasuk diantaranya shalat istikharah.

Adapun shalat dengan sebab tertentu seperti dua raka’at setelah wudhu atau shalat sunnah tahiyyatul masjid maka tidak dilarang. Begitu juga dengan shalat wajib seperti shalat nadzar, qadha shalat, dan selainnya.

Karena memang shalat yang memiliki sebab tidak dibatasi waktu larangan tertentu. Inilah pendapat Syafi’iyah dan yang insyaallah paling rajih.⁵

Referensi:

  1. Shahih Bukhari no. 586 dan Shahih Muslim no. 827
  2. Shahih Muslim no. 831
  3. Musnad Imam Ahmad no. 17.014
  4. Muwattha’ Imam Malik no. 274
  5. Al-Jadawil Al-Fiqhiyyah li Al-Masa’il Al-Khilafiyyah fi kitab Al-Bidayah Al-Mujtahid libni Rusyd milik Prof. Zhahir bin Fakhri hal. 204-206

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *