Membangun Masjid dengan Megah, Bolehkah?
Suatu hari saya mengunjungi salah satu mushola terbesar di Indonesia, yang tepatnya berada di Mall Panakkukang Makassar.
Waktu itu, mushola ini baru selesai dibangun. Jadi saya penasaran dengan tampilannya. Saya dan beberapa saudara saya pergi ke Mall di hari libur dan mengunjungi mushola tersebut. Saya cukup kagum dengan desain mushola yang cukup megah dan mewah. Namun, kemudian saya berpikir, “Bukankah nabi dan orang-orang shaleh terdahulu terbiasa hidup sederhana dan menjauhi kemewahan? Lalu, bolehkah membangun masjid dengan mewah seperti ini? Adakah larangan dari nabi ataukah tidak?
Saya berusaha mencari-cari jawaban dari pertanyaan tersebut. Lalu saya menemukan hadits nabi yang mengabarkan tentang masa depan, yaitu orang-orang akan saling berbangga-bangga dalam membangun masjid yang megah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ.
“Hari Kiamat tidak akan terjadi sampai manusia akan saling berbangga-bangga dengan masjid mereka.” (HR. Abu Dawud no. 449¹ dan An-Nasa’i no. 689², dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Berarti, banyaknya masjid yang dibangun dengan megah merupakan tanda bahwa Hari Kiamat semakin dekat. Tapi hanya dari hadits ini, belum dapat disimpulkan hukum membangun masjid dengan megah di sini. Karena, tidak semua tanda-tanda kiamat adalah sesuatu yang buruk. Seperti diutusnya nabi terakhir adalah kebaikan, dan ini merupakan salah satu tanda dekatnya Hari Kiamat.
Kemudian saya membaca-baca hukum menghias dan membagun masjid dengan megah di Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, dan disebutkan di kitab tersebut bahwa:
“Mayoritas ulama fikih berpendapat bahwa makhruh hukumnya menghiasi masjid dengan emas atau perak, ukiran, pewarnaan, tulisan, atau apa pun yang mengganggu khusyuknya jamaah dari shalatnya, dan karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hal tersebut.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau bersabda: Rasulullah bersabda:
مَا أُمِرْتُ بِتَشْيِيدِ الْمَسَاجِدِ.
“Allah tidak memerintahku untuk membangun masjid dengan megah dan mewah.”
لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
Ibnu Abbas juga menambahkan: “Kalian (kaum muslimin) di masa depan akan menghiasi mereka seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani dengan tempat-tempat ibadah mereka.” (HR. Abu Dawud no. 448¹ dan dishahihkan oleh An-Nawawi dan Al-Albani).³
Nah, dari sini kita mengetahui bahwa menghias dan memperindah masjid bukan berasal dari ajaran agama Islam, bahkan makruh hukumnya.
Lalu bagaimana dengan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram? Bukankah kedua masjid tersebut dibangun dengan mewah dan banyak dihias?
Nah, untuk mengetahui sebabnya, kita perlu mempelajari sejarah terlebih dahulu. Di zaman nabi, bangunan kedua masjid tersebut cukup sederhana. Namun puluhan tahun setelah wafatnya nabi, Khalifah Bani Umayyah ke 6 Al-Walid bin Abdul Malik mulai menghias kedua masjid tersebut.
Tentu hal ini diingkari para ulama ketika itu, namun karena hukumnya makruh tidak sampai haram, maka para ulama tidak sampai terlalu keras mengingkari apalagi memberontak karena bisa menghasilkan keburukan yang lebih besar.
Kesimpulan
Memang menghias masjid hukumnya makruh, tidak sampai haram. Namun tentu yang lebih dan sesuai sunnah nabi adalah membangun masjid tanpa hiasan yang tidak perlu. Jika dilakukan memang tidak berdosa, namun jika ditinggalkan kita mendapat pahala.
Dan ingatlah, bukan bangunan-bangunan masjid yang megah nan mewah yang meninggikan derajat agama Islam di mata dunia, namun yang meninggikan derajat agama Islam adalah ketika kita selaku seorang muslim dapat berpegang teguh pada ajaran agama Islam seperti rajin shalat, berpuasa, dan berakhlak mulia sehingga syi’ar-syi’ar agama Islam dapat hidup dan menyebar luas di segala penjuru dunia. Semoga Allah memberi kita taufik untuk senantiasa mengamalkan hal yang benar. Aamiin.
Demikian yang saya sampaikan pada artikel ini. Sekian.
Wallahu a’lam.
Syawwal 1446 H/April 2025
Referensi:
1. Sunan Abu Dawud no. 448 dan 449
2. Sunan An-Nasa’i no. 689
3. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah jilid 23 hal. 217
Tentang Penulis

Ilyas Azzam
@ilyas
Alumni Pesantren Islam Al-Irsyad Tengaran Angkatan 32 Mahasiswa Prodi HKI Angkatan 2024 STDI Imam Syafi'i Jember