Nusaybah Al-Anshariyyah, Wanita Pemberani dari Khazraj.
Kali ini, kita akan mempelajari kisah seorang wanita mulia dari kalangan shahabat, Nusaybah.
Beliau adalah wanita mulia anshar dari kalangan shahabat nabi, ibu dari Habib bin Zaid, utusan nabi yang dibunuh oleh sang nabi palsu Musailamah, dan ibu dari Abdullah bin Zaid, satu dari dua orang yang berhasil membunuh Musailamah (satunya lagi adalah Wahsyi).
Nusaybah juga termasuk shahabiyat yang meriwayatkan beberapa hadits, dan beliau diantara yang memandikan jenazah Zainab bintu Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam.
Yusuf bin Qizughli (cucu Ibnul Jauzi dari jalur anak perempuannya) menyebutkan dalam kitabnya Mir’aatuz Zaman fi Tawarikhil A’yan mengenai biografi Nusaybah:
“Dia (Nusaybah) menghadiri Bai’at Aqabah (yang kedua) bersama tujuh puluhan orang, masuk Islam, dan berbaiat. Dia juga ikut serta dalam Perang Uhud, Perjanjian Hudaibiyah, Perang Khaibar, Perang Hunain, Umrah Qadha, serta Perang Yamamah.”
Ibnu Sa’d berkata: “Ibunya adalah Rubbab binti Abdullah bin Habib dari suku Khazraj. Ia adalah saudara perempuan Abdullah bin Ka’ab yang ikut serta dalam Perang Badar, serta saudara perempuan Abu Laila Abdurrahman bin Ka’ab, salah satu dari ‘Al-Bakka’un’ (orang-orang yang menangis) karena ayah dan ibu mereka.”
Ummu Umarah (kunyahnya Nusaybah) binti Ka’ab menikah dengan Zaid bin ‘Asim bin Amr An-Najjari, dan dari pernikahan itu lahirlah Abdullah dan Habib, yang keduanya menjadi sahabat Rasulullah ﷺ. Setelah itu, ia menikah dengan Ghaziyyah bin Amr bin Atiyyah dari Bani Najjar juga, dan dari pernikahan ini lahirlah Tamim dan Khawlah.
Ibnu Sa’d mengutip dari Al-Waqidi bahwa Ummu Umarah menghadiri Bai’at Aqabah (yang kedua) pada malam peristiwa itu dan berbaiat bersama kaum Muslimin. Ia juga ikut serta dalam Perang Uhud bersama suaminya, Ghaziyyah bin Amr, setelah menikah dengannya.¹
Perang Uhud
Al Waqidi dalam bukunya Maghazi Al-Waqidi mengisahkan mengenai Nusaybah:
Nusaybah binti Ka’ab, yang dikenal sebagai Ummu Umarah, adalah istri Ghaziyyah bin Amr. Dia ikut serta dalam Perang Uhud bersama suaminya dan kedua putranya. Pada awal hari itu, dia keluar dengan membawa sebuah wadah air untuk memberi minum para prajurit yang terluka. Namun, di tengah pertempuran, dia ikut bertarung dengan gagah berani dan mengalami dua belas luka, baik akibat tusukan tombak maupun tebasan pedang.
Ummu Sa’ad binti Sa’ad bin Rabi’ pernah berkata, “Aku masuk ke rumahnya dan bertanya kepadanya, ‘Wahai bibi, ceritakanlah kisahmu.’
Maka dia berkata, ‘Aku keluar pada awal hari menuju Uhud untuk melihat keadaan orang-orang. Aku membawa wadah air bersamaku dan menemukan Rasulullah ﷺ bersama para sahabatnya, dalam keadaan kaum Muslimin sedang unggul.
Namun, ketika pasukan Muslim mulai mundur, aku segera mendekati Rasulullah ﷺ dan mulai berperang untuk melindunginya. Aku bertarung dengan pedang dan memanah dengan busur hingga akhirnya aku terluka.’“
“Aku melihat ada luka yang dalam di pundaknya, lalu aku bertanya, ‘Wahai Ummu Umarah, siapa yang melukaimu?’
Dia menjawab, ‘Seorang musuh bernama Ibnu Qami’ah mendekat saat orang-orang telah meninggalkan Rasulullah ﷺ. Dia berteriak, “Tunjukkan aku di mana Muhammad! Aku tidak akan selamat jika dia masih hidup!”
Maka Mush’ab bin Umair dan beberapa orang lainnya menghadangnya, dan aku juga berada di antara mereka. Dia menebasku hingga aku terluka, namun aku juga membalasnya dengan beberapa tebasan, tetapi musuh Allah itu mengenakan dua lapis baju besi.’
Aku lalu bertanya lagi, ‘Bagaimana tanganmu terluka?’
Dia menjawab, ‘Tangan ini terluka dalam Perang Yamamah. Ketika orang-orang Arab mulai mundur dari medan perang, kaum Anshar berteriak, “Bantu kami!” Lalu pasukan Anshar maju ke medan tempur dan aku berada di antara mereka. Kami bertarung di sekitar “Hadiqatul Maut(Taman Kematian)” selama beberapa saat hingga akhirnya Abu Dujanah gugur di gerbang taman. Aku masuk ke dalamnya dengan niat membunuh Musailamah, musuh Allah. Namun, tiba-tiba seseorang menghadangku dan menebas tanganku hingga putus.
Demi Allah, aku tidak mempedulikannya dan tidak berhenti sampai aku menemukan Musailamah sudah terbunuh, sedangkan putraku, Abdullah bin Zaid Al-Mazini, sedang membersihkan pedangnya dengan pakaiannya. Aku bertanya kepadanya, “Apakah kamu yang membunuhnya?” Dia menjawab, “Ya.” Maka aku pun bersujud sebagai ungkapan syukur kepada Allah.’“
Selain itu, Dhamrah bin Sa’id juga meriwayatkan dari neneknya, yang ikut serta dalam Perang Uhud untuk memberi minum kepada para prajurit yang terluka.
Ummu Umarah berkata: “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: ‘Kedudukan Nusaybah binti Ka’ab hari ini lebih baik daripada kedudukan si fulan dan si fulan!’”
Nabi ﷺ melihatnya bertempur dengan sangat gigih di hari itu, sementara dia mengikat kainnya di pinggangnya agar lebih leluasa bergerak. Dia mengalami tiga belas luka. Saat dia meninggal dunia, aku termasuk orang yang memandikannya. Aku menghitung luka-lukanya satu per satu dan menemukannya berjumlah tiga belas.
Ummu Umarah pernah berkata: “Aku masih bisa melihat Ibnu Qami’ah saat dia menebasku di pundakku. Itu adalah luka terparah yang kudapatkan, dan aku harus mengobatinya selama setahun. Kemudian penyeru Nabi ﷺ berseru: ‘Pergilah ke Hamra’ul Asad!’ Aku pun berusaha mengencangkan pakaianku, tetapi aku tidak sanggup karena banyaknya darah yang keluar. Kami menghabiskan malam itu merawat luka-lukaku hingga pagi. Ketika Rasulullah ﷺ kembali dari Hamra’, sebelum sampai ke rumahnya, beliau mengutus Abdullah bin Ka’ab Al-Mazini untuk menanyakan keadaanku. Setelah dia kembali dan melaporkan keselamatanku, Nabi ﷺ merasa senang mendengarnya.”
Abdul Jabbar bin Umarah meriwayatkan dari Umarah bin Ghaziyyah, bahwa Ummu Umarah berkata:
“Aku melihat diriku sendiri, lalu melihat keadaan orang-orang telah tercerai-berai meninggalkan Rasulullah ﷺ, sehingga yang tersisa hanya beberapa orang yang jumlahnya tidak sampai sepuluh. Aku, kedua anakku, dan suamiku berdiri di hadapan beliau melindunginya, sementara yang lain melarikan diri. Nabi ﷺ melihatku tanpa perisai, lalu beliau melihat seorang laki-laki yang berbalik mundur membawa perisai. Maka beliau berseru, ‘Wahai pemilik perisai! Lemparkanlah perisaimu kepada orang yang bertempur!’ Laki-laki itu pun melemparkan perisainya, lalu aku mengambilnya dan menggunakannya untuk melindungi Rasulullah ﷺ.
Musuh yang paling menyulitkan kami adalah pasukan berkuda. Jika mereka berjalan kaki seperti kami, niscaya kami bisa mengalahkan mereka dengan izin Allah. Seorang pria datang dengan kudanya dan menebasku, tetapi aku menangkisnya dengan perisai, sehingga pedangnya tidak melukaiku. Kemudian dia berbalik, dan aku menebas urat kudanya hingga dia terjatuh telentang. Nabi ﷺ berseru, ‘Wahai putra Ummu Umarah, ibumu! Ibumu!’ Aku pun membantu Rasulullah ﷺ sampai akhirnya aku berhasil membunuh orang itu.”
Abdullah bin Zaid berkata: “Aku terluka di lengan kiriku pada hari itu. Seorang pria yang tinggi memukulku, lalu pergi begitu saja. Darahku terus mengalir, lalu Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Balutlah lukamu.’ Ibuku segera mendatangiku dengan kain yang telah disiapkannya untuk membalut luka-luka, lalu dia membalut lukaku sementara Nabi ﷺ melihat. Setelah selesai, ibuku berkata, ‘Bangkitlah, wahai anakku, dan teruslah bertempur!’
Maka Rasulullah ﷺ pun berseru, ‘Siapa yang mampu melakukan seperti yang kau lakukan, wahai Ummu Umarah?’
Lalu datanglah orang yang telah melukaiku. Nabi ﷺ berkata, ‘Itulah orang yang telah melukai anakmu!’ Maka aku menghadangnya dan menebas kakinya hingga dia terjatuh. Aku melihat Nabi ﷺ tersenyum hingga tampak giginya, lalu beliau bersabda, ‘Engkau telah membalasnya, wahai Ummu Umarah!’
Kami pun mendatanginya dan menghajarnya dengan senjata hingga ia tewas. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberimu kemenangan, menyejukkan matamu dengan pembalasan dari musuhmu, dan memperlihatkan pembalasanmu dengan matamu sendiri!’”
Diriwayatkan oleh Ya’qub bin Muhammad dari Musa bin Dhamrah bin Sa’id, dari ayahnya, ia berkata:
“Umar bin Khattab pernah didatangkan beberapa mantel, di antaranya terdapat satu mantel yang lebar dan berkualitas baik. Sebagian orang berkata, ‘Mantel ini harganya sekian dan sekian. Seandainya engkau mengirimkannya kepada istri Abdullah bin Umar, Shafiyyah binti Abi Ubaid karena saat itu ia baru saja menikah dengan Ibnu Umar.’
Namun Umar berkata, ‘Aku akan mengirimkannya kepada orang yang lebih berhak darinya, yaitu Ummu Umarah, Nusaybah binti Ka’ab. Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ pada hari Uhud bersabda: “Aku tidak menoleh ke kanan maupun ke kiri, kecuali aku melihatnya bertempur membelaku.”‘
Al-Waqidi meriwayatkan dari Sa’id bin Abi Zaid, dari Marwan bin Abi Sa’id bin Al-Mu’alla, bahwa ada yang bertanya kepada Ummu Umarah:
“Apakah wanita-wanita Quraisy pada hari itu bertempur bersama suami mereka?”
Ia menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah! Aku tidak melihat satu pun dari mereka melempar anak panah atau batu. Namun, aku melihat mereka membawa rebana dan terompet, mereka memukulnya sambil mengingatkan pasukan mereka tentang korban Perang Badar. Mereka juga membawa celak dan alat-alat rias. Setiap kali ada pria yang mundur atau ragu, mereka memberikannya alat rias dan berkata, “Engkau hanyalah wanita!”
Aku melihat mereka akhirnya lari terbirit-birit, sementara para pria berkuda berusaha melindungi mereka dan melarikan diri dengan menunggang kuda, sementara mereka hanya berlari dengan kaki. Mereka pun berjatuhan di jalan. Aku bahkan melihat Hindun binti Utbah, yang bertubuh besar dan berat, duduk karena takut dengan pasukan berkuda. Ia tidak mampu berjalan. Di sampingnya ada seorang wanita lain, hingga akhirnya pasukan musuh menyerang kami dan mencelakai kami sebagaimana yang mereka lakukan. Kami hanya dapat mengharapkan pahala di sisi Allah atas musibah yang menimpa kami hari itu akibat kesalahan para pemanah dan ketidaktaatan mereka kepada Rasulullah ﷺ.’”²
Perang Yamamah
Ibnu Hisyam dalam kitab sejarah miliknya mengisahkan tentang Nusaybah:
Anak laki-laki Nusaybah, Habib sebagai utusan nabi telah ditangkap oleh Musailamah Al-Kadzab, penguasa Yamamah. Musailamah berkata kepadanya: “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?”
Dia menjawab: “Ya.” Musailamah kemudian bertanya lagi: “Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?” Dia menjawab: “Aku tidak mendengar.”
Musailamah kemudian menyiksanya, memotong tubuhnya bagian demi bagian hingga ia meninggal di tangannya, tanpa bertambah selain itu. Ketika disebutkan tentang Rasulullah ﷺ, ia pun beriman kepadanya dan mendoakan shalawat untuknya, tetapi ketika disebutkan Musailamah, ia menjawab: “Aku tidak mendengar.”
Kemudian, Nusaybah keluar menuju Yamamah bersama kaum Muslimin dan ikut serta dalam peperangan secara langsung, hingga Allah membunuh Musailamah. Nusaybah pun kembali dengan membawa dua belas luka, berupa tusukan dan pukulan.
Ibnu Ishaq berkata: Hadits ini diceritakan kepadaku oleh Muhammad bin Yahya bin Hibban, dari Abdullah bin Abdul Rahman bin Abi Sa’sa’ah.”
Nusaybah wafat beberapa lama setelah Perang Yamamah disebabkan luka yang dideritanya dan dikuburkan di Baqi’, Madinah.³
Sungguh, pada kisah Nusaybah ini, kita dapat mengambil pelajaran yang banyak mengenai keteguhan para shahabat dalam membela agama Allah.
Semoga Allah meridhai Nusaybah Al-Anshariyyah, dan semoga kaum muslimat dapat meneladani shahabiyat yang mulia ini. Aamiin.
Syawwal 1446 H/ April 2025
Referensi:
1. Mir’aatuz Zaman fi Tawarikhil A’yan jilid 5 hal. 197-198
2. Maghazi Al-Waqidi jilid 1 hal. 268-272
3. Sirah Ibni Hisyam jilid 1 hal. 466-467
Tentang Penulis

Ilyas Azzam
@ilyas
Alumni Pesantren Islam Al-Irsyad Tengaran Angkatan 32 Mahasiswa Prodi HKI Angkatan 2024 STDI Imam Syafi'i Jember